Seputar Shalat Jama' dan Qashar
Posted by Yulia Nisa
Sehubungan masih banyaknya
pertanyaan seputar Sholat jamak dan Sholat Qashar berikut ana share lagi
artikel tersebut, semoga bisa sedikit membantu pertanyaan yang belum terjawab.
I. PENGERTIAN SHOLAT JAMA'
Shalat yang digabungkan, yaitu
mengumpulkan dua shalat fardhu yang dilaksanakan dalam satu waktu.
Misalnya, shalat dzuhur dan Ashar dikerjakan pada waktu Dzuhur
atau pada waktu Ashar. Shalat Maghrib dan Isya’ dilaksanakan pada
waktu Maghrib atau pada waktu Isya’.
Sedangkan Subuh tetap pada waktunya
dan tidak boleh digabungkan dengan shalat lain. Shalat Jama' ini boleh
dilaksankan karena bebrapa alasan (halangan) berikut ini:
a. Dalam perjalanan yang bukan untuk maksiat
b. Apabila turun hujan lebat
c. Karena sakit dan takut
d. Jarak yang ditempuh cukup jauh, yakni 81 km (Begitulah yang
disepakati oleh sebagian Imam Madzhab sebagaimana disebutkan
dalam kitab AL-Fikih, Ala al Madzhabhib al Arba’ah, sebagaimana
pendapat para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali.)
Tetapi sebagian ulama lagi
berpendapat bahwa jarak perjalanan (musafir) itu sekurang-kurangnya dua hari
perjalanan kaki atau dua marhalah, yaitu 16 (enam belas) Farsah,
sama dengan 138 (seratus tiga puluh delapan) km.
Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh
siapa saja yang memerlukannya-baik musafir atau bukan- dan tidak boleh
dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan saja. (lihat
Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan
bahwa qashar shalat hanya disebabkan oleh safar (bepergian) dan tidak
diperbolehkan bagi orang yang tidak safar. Adapun jama’ shalat disebabkan
adanya keperluan dan uzur. Apabila seseorang membutuhkannya (adanya seuatu
keperluan) maka dibolehkan baginya melakukan jama’ shalat dalam suatu
perjalanan jarak jauh maupun dekat, demikian pula jama’ shalat juga disebabkan
hujan atau sejenisnya, juga bagi seorang yang sedang sakit atau sejenisnya atau
sebab-sebab lainnya karena tujuan dari itu semua adalah mengangkat kesulitan
yang dihadapi umatnya.” (Majmu’ al Fatawa juz XXII hal 293)
Termasuk udzur yang membolehkan
seseorang untuk menjama’ shalatnya adalah musafir ketika masih dalam perjalanan
dan belum sampai di tempat tujuan (HR. Bukhari, Muslim), turunnya hujan (HR.
Muslim, Ibnu Majah dll), dan orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al Bassam
2/310, Al Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah
1/313-317).
Berkata Imam Nawawi rahimahullah
:”Sebagian Imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama’
shalatnya apabila diperlukan asalkan tidak dijadikan sebagai kebiasaan.” (lihat
Syarah Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz
141).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma
berkata, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjama’ara Dhuhur
dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan
safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanya hal itu
kepada Ibnu Abbas beliau menjawab:”Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
tidak ingin memberatkan umatnya.” (HR.Muslim dll. Lihat Sahihul Jami’ 1070).
Shalat jama' dapat dilaksanakan
dengan 2 (dua) cara:
1. Jama' Taqdim (Jama' yang didahulukan) yaitu menjama' 2 (dua) shalat dan
melaksanakannya pada waktu shalat yang pertama. Misalnya shalat Dzuhur dan
Ashar dilaksanakan pada waktu Dzuhur atau shalat Maghrib dan Isya’
dilaksanakan pada waktu Maghrib.
Syarat syah Jama' Taqdim ialah:
a. Berniat menjama' shalat kedua pada shalat pertama
b. Mendahulukan shalat pertama, baru disusul shalat kedua
c. Berurutan, artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau
perkataan lain, kecuali duduk, iqomat atau sesuatu keperluan yang sangat
penting
2. Jama' Ta’khir (jamak yang diakhirkan), yaitu menjamak 2 (dua) shalat dan
melaksanakannya pada waktu shalat yang kedua. Misalnya, shalat Dzuhur dan
Ashar dilaksanakan pada waktu Ashar atau shalat Maghrib dan
shalat Isya’ dilaksanakan pada waktu shalat Isya’
- Syarat Sah Jama' Ta’khir ialah:
a. Niat (melafazhkan pada shalat pertama) yaitu : ”Aku
ta’khirkan shalat Dzuhurku diwaktu Ashar.”
b. Berurutan, artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau
perkataan lain, kecuali duduk, iqomat atau sesuatu keperluan yang sangat
penting.
NOTE : Dalam Jama' ta’khir tidak disyaratkan mendahulukan
shalat pertama atau shalat kedua. Misalnya shalat Dzuhur dan Ashar boleh
mendahulukan Ashar baru Dzuhur atau sebaliknya. Muadz bin Jabal
menerangkan bahwasanya Nabi SAW dipeperangan Tabuk, apabila telah
tergelincir matahari sebelum beliau berangkat, beliau kumpulkan antara Dzuhur
dan Ashar dan apabila beliau ta’khirkan shalat Ashar. Dalam shalat Maghrib
begitu juga, jika terbenam matahari sebelum berangkat, Nabi SAW
mengumpulkan Maghrib dengan Isya’ jika beliau berangkat sebelum terbenam matahari
beliau ta’khirkan Maghrib sehingga beliau singgah (berhenti) untuk Isya’
kemudian beliau menjama'kan antara keduanya.
MENJAMA’ SHOLAT JUM’AT DENGAN ASHAR
Tidak diperbolehkan menjama’ antara
shalat Jum’at dengan shalat Ashar dengan alas an apapun-baik musafir, orang
sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang di
perbolehkan menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar.
Hal ini disebabkan tidak adanya
dalil tentang menjama’ antara Jum’at dan Ashar, dan yang ada adalah menjama’ antara
Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya’. Jum’at tidak bisa diqiyaskan
dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus
dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia
menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak
ada satu dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam bersabda: “Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami
ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain: “Barangsiapa
mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada ajarannya)
maka amalannya tertolak.” (HR.Muslim).
Jadi kembali pada hukum asal, yaitu
wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali apabila ada dalil
yang membolehkan untuk menjama’ dengan shalat lain. (Lihat Majmu’ Fatawa
Syaihk Utsaimin 15/369-378)
MUSAFIR SHALAT DIBELAKANG MUKIM
Shalat berjama’ah adalah wajib bagi
orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat dibelakang imam
yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat raka’at, namun
apabila ia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua raka’at).
Hal ini didasarkan atas riwayat yang shahih dati Ibnu Abbas radhiallahu anhuma.
Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu
Abbas, lalu aku bertanya:”Kami melakukan shalat empat raka’at apabila bersama
kamu (penduduk Makkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama
musafir) maka kami shalat dua raka’at?” Ibnu ABbas radhiallahu anhuma menjawab:
“Itu adalah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam).” (Riwayat
Imam Ahmad dg sanad shahih. Lihat Irwa’ul Ghalil no 571 dan Tamamul Minnah,
Syaikh AL ALbani 317).
MUSAFIR MENJADI IMAM MUKIM
Apabila musafir dijadikan sebagai
imam orang-orang mukim dan dia mengqashar shalatnya maka hendaklah orang-orang
yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (empat raka’at), namun agar
tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya
bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim) meneruskan
shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam)
salam dari dua raka’at. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Makkah,
beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berkata: “Sempurnakanlah shalatmu
(empat raka’at) wahai penduduk Makkah! Karena kami adalah musafir.” (HR.
Abu Dawud). Belai Shalallahu ‘Alaihi Wassalam shalat dua-dua (qashar) dan
mereka meneruskan sampai empat raka’at setelah beliau salam. (lihat Al Majmu
Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269).
Apabila imam yang musafir tersebut
khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat empat raka’at (tidak
mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah sunnah mu’akkadah
dan bukan wajib. (lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al
Bassam 2/294-295).
SHALAT JUM’AT BAGI MUSAFIR
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa
tidak ada shalat jum’at bagi musafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di
suatu daerah yang diadakan shalat Jum’at maka wajib atasnya untuk mengikuti
shalat Jum’at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi’i, Ats
Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. (lihat AL Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al
Majmu’ Syar Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu’ Fatawa Syaikh
Utsaimin 15/370).
Dalilnya adalah bahwasanya Nabi
Muhammad SAW apabila safar (bepergian) tidak shalat jum’at dalam safarnya, juga
ketika haji wada’, beliau SAW tidak melaksanakan shalat Jum’at dan menggantinya
dengan shalat Dhuhur yang di jama’ dengan Ashar. (lihat Hajjatun Nabi SAW
Kama Rawaaha Anhu Jabir, karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani hal 73).
Demikian pula para Khulafa’ Ar Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu anhum dan
para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang yang setelah mereka
apabila safar tidak shalat Jum’at dan menggantinya dengan Dhuhur. (lihat Al
Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
Dari Al Hasan Al Basri, dari Abdur
Rahman bin Samurah berkata: “Aku tinggal bersama dia (Al Hasan Al Basri) di
Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat Jum’at.”
Sahabat Anas radhiallahu anhu
tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan
shalat Jum’at.
Ibnul Mundzir rahimahullahu
menyebutkan bahwa ini adalah Ijma’ (kesepakatan para ulama) yang berdasar
hadist shaihi dalam hal ini sehingg tidak diperbolehkan menyelisihinya. (lihat
Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
II. PENGERTIAN SHOLAT QASHAR
Shalat yang diringkas, yaitu shalat
fardhu yang 4 (empat) rakat (Dzuhur, Ashar dan Isya’) dijadikan 2 (dua) rakaat,
masing-masing dilaksanakan tetap pada waktunya. Sebagaimana menjamak shalat,
mengqashar shalat hukumnya sunnah. Dan ini merupakan rushah (keringanan)
dari Allah SWT bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan tertentu.
Adapun syarat syah shalah Qashar
sama dengan shalat Jamak, hanya ditambah :
1. Shalatnya yang 4 (empat) rakaat
2. Tidak makmum kepada orang yang
shalat sempurna
3. Harus memahami cara melakukan
4. Masih dalam perjalanan, bila
sudah sampai dirumah harus dikerjakan sempurna walaupun tetap jama'.
- Perhatikan Hadist Nabi SAW :
”Rasulullah SAW tidak
bepergian, melainkan mengerjakan shalat dua raka’at saja sehingga beliau
kembali dari perjalanannya dan bahwasanya beliau telah bermukim di Mekkah di
masa Fathul Mekkah selama delapan belas malam, beliau mengerjakan shalat dengan
para Jama’ah dua raka’at kecuali shalat Maghrib. Kemudian bersabda Rasulullah
SAW: ”Wahai penduduk mekkah, bershalatlah kamu sekalian dua raka’at
lagi, kami adalah orang – orang yang dalam perjalanan.” (HR. Abu Daud)
- Sedangkan cara melaksanakan shalat Qashar adalah :
1. Niat shalat qashar ketika takbiratul ihram.
2. Mengerjakan shalat yang empat rakaat dilaksanakan dua
rakaat kemudian salam
- Firman Allah SWT
”Bila kamu mengadakan perjalanan
dimuka bumi, tidaklah kamu berdosa jika kamu memendekkan shalat...” (QS.
An-Nisa: 101)
- Nabi SAW bersabda:
”Dari Ibnu Abbas ra ia
berkata: ”Shalat itu difardhukan atau diwajibkan atas lidah Nabimu didalam hadlar
(mukim) empat rakaat, didalam safar (perjalanan) dua rakaat dan
didalam khauf (keadaan takut/perang) satu rakaat.” (HR. Muslim)
JARAK SAFAR YANG DIPERBOLEHKAN
MENGQASHAR
Qashar hanya boleh dilakukan oleh
Musafir-baik safar dekat atau safar jauh-, karena tidak ada dalil yang
membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh
melakukan qashar apabila bepergiannya bisa disebut safar menurut pengertian
umumnya. sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari 80 Km
agar tidak terjadi kebingungan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak
berdasarkan dalil shahih yang jelas. (lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm 21/5,
Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim 1/481, Fiqhua Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As
Shalah, Prof. Dr. Abdullah Ath Thayyar 160-161, Al Wajiz, Abdul Adhim Al
Khalafi 138).
Apabila terjadi kerancuan dan
kebingungan dalam menentukan jarak atau batasan diperbolehkannya mengqashar
shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan
batasan tersebut-yaitu sekitar 80 atau 90 Km-, karena pendapat ini juga
merupakan pendapat para Imam dan Ulama yang layak berijtihad. (lihat Majmu’
Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265).
Seorang musafir diperbolehkan
mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampong halamannya sampai dia
pulang kembali ke rumahnya. (Al Wajiz, Abdul ‘Adhim Al Khalafi 138).
Berkata Ibnu Mundzir: “Aku tidak
mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota
Madinah.”
Berkata Anas radhiallahu ‘anhu: “Aku
shalat bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam di kota Madinah empar
raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka’at.” (HR. Bukhari,
Muslim dll).
SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH
MENGQASHAR SHALAT
Para ulama berbeda pendapat tentang
batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan
diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang
termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali
rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu.
Namun para ulama lain diantaranya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad
Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As Sa’di, Syaikh Bin Biz, Syaikh Utsaimin dan
para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir
diperbolehkan untuk mengqashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali
ke kampong halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama
bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang shahih dan secara tegas
menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang
rajah (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:
Sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu
meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tinggal di
Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat. (HR. Imam Ahmad dll dg sanad
shahih)
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu
‘anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tinggal
di Makkah selama sembilan belas hari mengqashar shalat. (HR. Bukhari).
Nafi’ rahimahullah meriwayatkan,
bahwasanya Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma tinggal di azzerbaijan selama enam
bulan mengqashar shalat. (Riwayat Al Baihaqi dll dg sanad shahih).
Dalil-dalil diatas jelaslah bahwa
Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam tidak memberikan batasan waktu tertentu
untuk diperbolehkannya mengqashar shalat bagi musafir selama mereka mempunyai
niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di
daerah perantauan tersebut. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15,
Irwa’ul Ghalil Syaikh Al Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312).
BOLEHKAH MELAKUKAN SHOLAT JAMAK
SEKALIGUS SHOLAT QASHAR
Sholat Jamak sekaligus Sholat Qashar
artinya Sholat dengan mengumpulkan dua shalat fardhu dalam satu waktu
dan meringkas rakaatnya yang semula empat rakaat menjadi dua
rakaat. apa Dalilnya?
Perhatikan Hadist dari Ibnu Umar
berikut ini:
”Pernah Rasulullah SAW
menjamak Qashar shalat Maghrib dengan shalat Isya’, beliau laksanakan Maghrib tiga
rakat dan Isya’ dua rakaat dengan satu kali iqomah.” (HR. Abu Daud
dan Turmudzi)
Shalat Jamak Qashar dapat pula
dilaksanakan secara taqdim dan ta’khir. Jika hendak melakukan
Jamak Qashar, umpamanya kita mengumpulkan Ashar dengan Dzuhur yakni kita tarik
shalat Ashar kedalam shalat Dzuhur maka hendaklah kita sesudah Adzan dan Iqomah
mengerjakan shalat Dzuhur dua rakaat, setelah selesai Dzuhur iqomah
lagi, setelah itu mengerjakan shalat Ashar dua rakaat.
Secara pribadi, saya ketika
berpergian jauh maka lebih senang melakukan sholat jamak sekaligus qashar, baik
secara takdim maupun takhir.
MENGUCAPKAN LAFADZ NIAT KETIKA
SHOLAT
Tentang melafadzkan niat, saya secara
pribadi ketika ditanya oleh kerabat atau teman tentang melafadzkan niat maka
saya hanya balik bertanya bahwa adakah dalil yang menunjukan bahwa harus
melafadzkan niat ketika memuali sholat? karena bagi saya niat itu di dalam
hati, tidak perlu dilafadzkan, sama hal nya ketika orang berniat mau makan
apakah dia harus mengucapkan kalimat niat seperti "sengaja aku makan
karena lapar" kan gak masuk di akal. apalagi dalam perkara ibadah.
sering sekali kita ketika menjadi
Makmum di masjid mendengar Imam melafadkan niat dengan keras, dan yang menjadi
makmum dengan suara pelan. nah, mari kita lihat pendapat para 'ulama seputar
melafadzkan niat secara pelan dan keras.
Mengucapkan niat dengan bersuara
keras
Dalam Qaul Mubin fi Akhta’
al-Mushallin halaman 95 disebutkan, “Mengucapkan niat dengan suara keras
hukumnya tidaklah wajib tidak pula dianjurkan berdasarkan kesepakatan seluruh
ulama. Bahkan orang yang melakukannya dinilai sebagai orang yang membuat kreasi
dalam agama yang menyelisihi syariat. Jika ada orang yang melakukan hal
demikian karena berkeyakinan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari syariat
Islam maka orang tersebut adalah orang yang tidak paham tentang agama dan
tersesat dari jalan yang benar. Bahkan orang tersebut berhak untuk mendapatkan
hukuman dari penguasa jika dia terus-menerus melakukan hal tersebut setelah
diberikan penjelasan. Terlebih lagi jika orang tersebut mengganggu orang yang
berada di sampingnya disebabkan bersuara keras atau mengulang-ulangi bacaan
niat berkali-kali.”
Nadzim Muhammad Sulthan mengatakan,
“Mengucapkan niat dengan suara keras adalah kreasi dalam agama dan satu
perbuatan yang dinilai munkar karena hal tersebut tidak terdapat dalam al-Quran
dan hadits Nabi satupun dalil yang menunjukkan disyariatkannya hal diatas.
Padahal kita semua mengetahui bahwa hukum asal ibadah adalah haram dan ibadah
tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan dalil.” (Qawaid wa Fawaid min
al-Arbain an-Nawawiyah, halaaman 31)
Jamaluddin Abu Rabi’ Sulaiman bin
Umar yang bermadzhab Syafi’i mengatakan, “Mengucapkan niat dengan suara
keras dan juga membaca al-fatihah atau surat dengan suara keras dibelakang Imam
bukanlah termasuk sunnah Nabi bahkan hukumnya makruh. Jika dengan perbuatan
tersebut jamaah shalat yang lain terganggu maka hukumnya berubah menjadi haram.
Barang siapa yang menyatakan bahwa mengucapkan niat dengan bersuara keras
adalah dianjurkan maka orang tersebut sudah keliru karena siapapun dilarang
untuk berkata-kata tentang agama Allah ini tanpa ilmu.” (al-A’lam, 3/194)
Syaikh Alauddin al-A’thar berkata, “Mengucapkan
niat dengan suara keras yang mengganggu jamaah shalat yang lain hukumnya adalah
haram dengan kesepakatan ulama. Jika tidak menggangu yang lain maka hukumnya
adalah kreasi dalam agama (baca: bid’ah) yang jelek. Jika ada orang yang
melakukan hal tersebut bermaksud riya dengan lafadz niat yang dia ucapkan maka
hukumnya haram. Karena dua alas an: riya dan pengucapan niat itu sendiri.
Orang yang mengingkari pendapat
bahwa mengucapkan niat itu dianjurkan adalah orang yang benar. Sedangkan orang
yang membenarkannya adalah orang yang keliru. Meyakini hal tersebut bagian dari
agama Allah merupakan sebuah kekufuran. Sedangkan apabila tidak diyakini
sebagai bagian dari agama Allah maka bernilai kemaksiatan. Setiap orang yang
memiliki kemampuan untuk mencegah perbuatan ini memiliki kewajiban untuk
mencegah dan melarangnya. Mengucapkan niat tidaklah diajarkan oleh Rasulullah
shahabat, dan tidak pula seorangpun ulama yang menjadi panutan umat.” (Majmu’ah ar-Rasail al-Kubra 1/254)
Abu Abdillah Muhammad bin al-Qasim
al-Thunisi yang mermadzhab Maliki mengatakan, “Niat merupakan perbuatan
hati. Mengucapkan niat dengan suara keras adalah bid’ah di samping mengganggu
orang lain.” (Lihat Majmu’ah ar-Rasail al-Kubra hal 1/254-157)
Mengucapkan Niat dengan Suara Pelan
Syaikh Masyhur al-Salman mengatakan,
“Demikian pula mengucapkan niat dengan suara pelan tidaklah diwajibkan
Menurut Imam Madzhab yang empat dan para ulama yang lainnya. Tidak ada seorang
ulama pun yang mewajibkan hal tersebut, baik dalam berwudhu, shalat atau pun
berpuasa.” (al-Qoul al-Mubin halaman 96)
Abu Dawud pernah bertanya kepada
Imam Ahmad, “Apakah diperbolehkan mengucapkan sesuatu sebelum membaca
takbiratul ihram?” “Tidak boleh,” jawab Imam Ahmad. (Majmu’ Fatawa
XII/28)
Dalam al-Amru bil Ittiba’, halaman
28, Suyuthi yang bermadzhab Syafi’i mengatakan, “Di antara perbuatan bid’ah
adalah was-was berkenaan dengan niat shalat. Hal tersebut tidak pernah
dilakukan oleh Nabi dan para shahabat. Mereka tidak pernah mengucapkan niat
shalat. Mereka hanya memulai shalat dengan Takbiratul Ihram padahal Allah
berfirman, yang artinya, “Sungguh, pada diri Nabi telah ada suri tauladan yang
baik.” (QS al-Ahzab: 21)
Imam Syafi’i sendiri menyatakan, “Bahwa
was-was berkenaan dengan niat shalat dan berwudhu merupakan dampak dari
ketidakpahaman dari aturan syariat. Dan akal pikiran yang sudah tidak waras
lagi.”
Mengucapkan niat memiliki dampak
negatif yang sangat banyak sekali. Kita lihat ada seorang yang mengucapkan niat
shalat secara jelas dan terang kemudian dia berkeinginan untuk mengucapkan
takbiratul ihram. Orang tersebut lantas mengulangi lagi ucapan niatnya karena
menganggap dia belum berniat dengan benar.
Ibn Abi al-Iz yang bermadzhab Hanafi
mengatakan, “Tidak ada seorang pun di antara Imam Madzhab yang empat baik
Imam syafi’i atau yang lainnya yang mewajibkan ucapan niat sebelum beribadah.”
Memang juga harus kita hormati orang
yang melafadzkan niat, karena mereka juga mengetengahkan pendapat, walaupun
tersebut menurut sebagian 'ulama adalah lemah. yakni mereka yang mengatakan
boleh melafadzkan niat adalah dengan mengutip pendapat Imam syafe'i yang
berkata
“Shalat itu
tidak seperti zakat. Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini kecuali dengan
zikir”.
Mereka menyangka bahwa zikir yang
dimaksud adalah ucapan niat seorang yang shalat. Padahal yang dimaksudkan oleh
Imam Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – dengan zikir ini tidak lain adalah
takbiratul ihram. Bagaimana mungkin Imam Syafi’i menyukai perkara yang tidak
dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam satu shalat pun, begitu
pula oleh para khalifah beliau dan para sahabat yang lain. Inilah petunjuk dan
jalan hidup mereka. Kalau ada seseorang yang bisa menunjukkan kepada kita satu
huruf dari mereka tentang perkara ini, maka kita akan menerimanya dan
menyambutnya dengan ketundukan dan penerimaan. Karena tidak ada petunjuk yang
lebih sempurna daripada petunjuk mereka, dan tidak ada sunnah kecuali yang
diambil dari pemilik syari’at Shallallahu ‘alaihi wasallam. (Zaadul Ma`ad : 1/201)
itulah kenapa Imam an Nawawi sebagai
salah satu 'ulama dari madzab Syafe'i berkata, "Tempat niat adalah
hati dengan kesepakatan para Ulama. Tetapi ada sebagian ulama mutaakhirin
(belakangan) yang mewajibkan mengucapkan niat dan dinyatakan sebagai salah satu
pendapat dari Imam syafi’i. Ini adalah sebuah kesalahan! Di samping itu,
pendapat tersebut melanggar kesepakatan para ulama yang sudah ada sebelumnya.”
Demikian komentar Nawawi.” (al-Ittiba’ halaman 62)
Namun pula, disamping alasan di
atas, ada juga sebagian 'ulama yang berpendapat bahwa melafadzkan niat itu
hukumnya sunnah, bukan bid'ah sebagaimana yang 'ulama lain fahami. karena bagi
para 'ulama yang mengadopsi boleh melafadzkan niat ketika mau sholat maka itu
bukan termasuk rukun sholat, karena menurut mereka Niat shalat tidak sama
dengan melafadzkan niat. namun mereka sepakat jika dikatakan niat adalah di
dalam hati, karena memang niat adalah amalan hati, bukan fisik.
Niat shalat dilakukan bersamaan
dengan takbiratul Ihram, merupakan bagian dari shalat (rukun shalat), adapun
melafadzkan niat (mengucapkan niat) adalah amalan lisan (aktifitas lisan), yang
hanya dilakukan sebelum takbiratul Ihram, artinya dilakukan sebelum masuk dalam
bagian shalat (rukun shalat) dan bukan merupakan bagian dari rukun shalat.
sebenarnya tidak ada perbedaan
mendasar antar masing2 pendapat dari 'ulama tsb, saya disini mencoba untuk
memahami dimana letak perbedaan dan persamaanya.
jikalau kita lihat, masing2 dari
'ulama tersebut sepakat bahwa niat itu adalah perkara hati, bukan perkara
fisik, dan mereka juga bersepakat yang namanya niat itu dikerjakan bersamaan
dengan takbiratul ihram, bukan sebelum atau sesudahnya.
kita ketahui bersama juga bahwa
permulaan shalat adalah niat dan takbiratul ihram dilakukan bersamaan dengan
niat. Niat tidak mendahului takbir (Takbiratul Ihram) dan tidak pula sesudah
takbir. Sebagaimana dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’I dalam kitab Al-Umm Juz
1, pada Bab Niat pada Shalat (باب النية في الصلاة ) ;
قال الشافع:
والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم
التكبير ولا تكون بعده
“..niat tidak bisa menggantikan
takbir, dan niat tiada memadai selain bersamaan dengan Takbir, niat tidak
mendahului takbir dan tidak (pula) sesudah Takbir.”
Sekali lagi, niat itu bersamaan
dengan Takbir. Hal senada juga dinyatakan oleh al-‘Allamah asy-Syaikh Zainuddin
bin Abdul ‘Aziz al-Malibariy asy-Syafi’i dalam Fathul Mu’in Hal 16 ;
. (مقرونا به)
أي بالتكبير، (النية) لان التكبير أول أركان الصلاة فتجب مقارنتها به،
“..Takbiratul ihram harus dilakukan
bersamaan dengan niat (shalat), karena takbir adl rukun shalat yang awal, maka
wajib bersamaan dengan niat”
Al-Imam An-Nawawi, didalam Kitab
Raudhatut Thalibin, pada fashal (فصل في النية يجب مقارنتها التكبير)
يجب أن يبتدىء
النية بالقلب مع ابتداء التكبير باللسان
“diwajibkan memulai niat dengan hati
bersamaan dengan takbir dengan lisan”
Al-Qadhi Abu al-Hasan al-Mahamiliy,
didalam kitab Al-Lubab fi al-Fiqh asy-Syafi'i, pada pembahasan (باب فرائض
الصلاة) ;
النية،
والتكبير، ومقارنة النية للتكبير
"Niat dan Takbir, niat
bersamaan dengan takbir"
Asy-Syekh Abu Ishaq asy-Syairaziy,
didalam Tanbih fi Fiqh Asy-Syafi'i (1/30) :
وتكون النية
مقارنة للتكبير لا يجزئه غيره والتكبير أن يقول ألله أكبر أو الله الأكبر لا يجزئه
غير ذلك
"dan adanya niat bersamaan
dengan takbir, tidak cukup selain itu. dan takbir yaitu mengucapkan (ألله أكبر)
atau ( الله الأكبر), selain yang demikian tidaklah cukup (bukan takbir)."
Jadi, shalat telah dinyatakan mulai
manakala sudah takbiratul Ihram yg sekaligus bersamaan dengan niat (antara niat
dan takbir adalah bersamaan)
nah, namun tentang mengucapkan
lafadz niat (bukan niat) maka mereka mengatakan itu boleh bahkan hukumnya
sunnah.
Melafadzkan niat (Talaffudz
binniyah) hukumnya sunnah. Kesunnahan ini diqiyaskan dengan melafadzkan niat
Haji, sebagaimana Rasulullah dalam beberapa kesempatan melafadzkan niat yaitu
pada ibadah Haji.
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ :
لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا (رواه مسلم) “Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya
mendengar Rasulullah SAW mengucapkan “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah)
untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim) Dalam buku Fiqh As-Sunnah
I halaman 551 Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang Sahabat mendengar
Rasulullah SAW mengucapkan (نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ اَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ) “Saya
niat mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji” أنه سمعه
صلى الله عليه وسلم يقول : " نويت العمرة ، أو نويت الحج Memang, ketika
Rasulullah SAW melafadzkan niat itu ketika menjalankan ibadah haji, namun
ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga kesunnahan
melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam
ibadah haji. Hadits tersebut merupakan salah satu landasan dari Talaffudz
binniyah. Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh al-‘Allamah al-Imam Ibnu
Hajar al-Haitami (ابن حجر الهيتمي ) didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) ;
(ويندب النطق) بالمنوي (قبيل التكبير) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من
أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في الحج “Dan disunnahkan melafadzkan
(mengucapkan) niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga
untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang
mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena qiyas
terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji” Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu
Fiqh,
Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin
Abdul Aziz didalam Fathul Mu'in Hal. 1 :
واستمداده من
الكتاب والسنة والاجماع والقياس.
Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab
Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas. Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-Syafi'i,
didalam kitab beliau Ar-Risalah الرسالة :
أن ليس لأحد
أبدا أن يقول في شيء حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو
السنة أو الأجماع أو القياس
..selamanya tidak boleh seseorang
mengatakan dalam hukum baik halal maupun haram kecuali ada pengetahuan tentang
itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur'an), as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.”
قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم الله وفي كل
ما كان نص السنة هذا حكم رسول الله ولم نقل له قياس Aku (Imam Syafi'i berkata),
jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur'an dan As-Sunnah, dikatakan setiap perkara
ada nasnya didalam Al-Qur'an maka itu hukum Allah (al-Qur'an), jika ada nasnya
didalam as-Sunnah maka itu hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan
itu sebagai Qiyas (jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur'an dan Sunnah).
Maksud perkataan Imam Syafi'i adalah dinamakan qiyas jika memang tidak
ditemukan dalilnya dalam al-Qur'an dan As-Sunnah.
Jika ada dalilnya didalam al-Qur'an
dan as-Sunnah, maka itu bukanlah Qiyas. Bukankah Ijtihad itu dilakukan ketika
tidak ditemukan hukumnya/dalilnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah ? Jadi,
melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum takbiratul Ihram adalah amalan
sunnah dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah
SAW. Sunnah dalam pengertian ilmu fiqh, adalah apabila dikerjakan mendapat
pahala namun apabila ditinggalkan tidak apa-apa. Tanpa melafadzkan niat, shalat
tetaplah sah dan melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan
tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat. Ulama Syafi’iyyah & ulama
lainnya yang mensunnahkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) adalah sebagai
berikut ; Al-Allamah asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama
Madzhab Syafi’iiyah), dalam kitab Fathul Mu’in bi syarkhi Qurratul 'Ain
bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 ; . (و) سن (نطق بمنوي) قبل التكبير، ليساعد اللسان
القلب، وخروجا من خلاف من أوجبه. “Disunnahkan mengucapkan niat sebelum
takbiratul ihram, agar lisan dapat membantu hati (kekhusuan hati), dan karena
mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.” Al-Imam Muhammad bin
Abi al-'Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan "Syafi'i Kecil"
[الرملي الشهير بالشافعي الصغير]
dalam kitab Nihayatul Muhtaj (نهاية
المحتاج), juz I : 437 :
وَيُنْدَبُ
النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ
وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ
خِلاَفِ مَنْ
أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan (mandub) melafadzkan
niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapt membantu hati (kekhusuan hati),
agar terhindar dari gangguan hati (was-was) dan karena mengindari perselisihan
dengan ulama yang mewajibkannya”.
KESIMPULAN TENTANG MELAFADZKAN NIAT
Jadi, pendapat yang bisa dianggap
menyimpang keliru adalah jika melafadzkan niat (talaffudz binniyah) dimasukkan
sebagai bagian dari fardhu shalat atau shalat dianggap tidak cukup jika tanpa
melafadzkan niat. Sebab mewajibkan melafadzkan niat sama saja telah masukkannya
sebagai bagian dari shalat, padahal tidak ada 'ulama yang mengatakan itu, namun
jika melafadzkan niat tanpa bermaksud mengatakan itu bagian dari sholat maka
itu mubah, karena awalan sholat adalah niat yakni niat didalam hati yang
bersamaan dengan takbiratul ihram. jadi silahkan yang mau melafadzkan niat
sholat namun jangan berniat atau bermaksud itu adalah bagian dari sholat,
karena sekali lagi saya katakan, awalan sholat adalah niat di dalam hati, bukan
dari lafadz niat, jadi tatkala anda mengucapkan lafadz niat sholat, maka
kemudian barulah mulai sholat dengan di awali niat dalam hati dan takbiratul
ihram secara bersamaan. jadi, yang dikritik oleh para 'ulama yang menentang
pendapat bahwa niat sholat harus dilafadzkan adalah ketika lafadz dari niat
tersebut dianggap bagian dari sholat, namun jika bukan bermaksud mengangap
bagian dari sholat maka tidak mengapa. ini yang bisa saya fahami, itulah kenapa
jika ada yang bertanya kepada saya tentang lafadzs niat maka memang saya mengatakan
tidak ada dalil yang mengatakan bahwa sholat di awali dengan melafadzkan niat,
melainkan di dalam hati dan bersamaan dengan takbir, adapun ketika ingin
melafadzkan niat maka itu sebelum memulai sholat. karena melafadzkan niat bukan
bagian dari rukun sholat.
Wallahu A'lam bis showab
Di
kutip dari berbagai sumber dengan sedikit tambahan
[khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Niat Shalat Jama’ dan Qashar
Adakalanya kita mengadakan perjalanan jauh atau berpergian
yang membutuhkan waktu perjalananya yang panjang, misalnya naik pesawat
terbang, kapal laut, karyawisata, mengunjungi kakek dan nenek di kampung
halaman atau keperluan lainnya. Hal itu menyebabkan kita sering menjumpai
kesulitan untuk melakukan ibadah sholat. Padahal sholat merupakan kewajiban
umat Islam yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun juga. Kasih
sayang Allah kepada umat Islam sedemikian besar dengan cara memberikan rukhsah
dalam melaksanakan sholat dengan cara jamak dan qasar dengan syarat-syarat
tertentu. Apa sajakah itu? Mari kita pelajari materi berikut ini.
Orang yang sedang bepergian itu dibolehkan memendekkan shalat
atau meringkas shalat yang jumlah shalatnya empat raka’at menjadi dua raka’at
(shalat qashar). Dibolehkan pula mengumpulkan shalat dalam satu waktu, shalat
dhuhur dengan ashar - maghrib dengan isya’ (shalat jama’). Sedangkan shalat
subuh tidak bisa diqoshor maupun dijama’ tapi untuk shalat maghrib bisa dijama’
dan tidak bisa diqoshor.
Men-jama' shalat ada 2. Bila dilakukan waktu shalat yamg awal
(misalnya Dhuhur dan Ashar dilakukan pada waktu Dhuhur), maka dinamakan jama'
takdim dan bila dilakukan pada waktu yang kedua (seperti Dhuhur dan Ashar
dilakukan pada waktu ashar) maka disebut jama' ta'khir.
Syarat meng-qashar
1.
Bepergian yang bukan untuk tujuan maksiat
2. Jauh
perjalanan minimal 88,5 km
3.
Shalat yang di-qasar adalah ada' (bukan qadla') yang empat rakaat.
4. Niat
qashar bersamaan dengan takbiratul ihram.
5.
Tidak boleh bermakmum pada orang yang shalat sempurna (tidak di-qashar).
Syarat jama' takdim
1.
Tertib, mengerjakan dua rakaat secara urut. Dhuhur harus didahulukan tidak
boleh dibalik dengan mengerjakan Ashar dulu.
2. Niat
jama' yang dibarengkan dengan takbiratul ihram shalat yang pertama,
misalnya Dhuhur.
3.
Terus-menerus, antara dua shalat yang dijama' tidak boleh diselingi dengan
ibadah atau pekerjaan lain.
Syarat jama' ta'khir
1. Niat
jama' ta'khir yang diwaktu shalat yang pertama.
2.
Mengerjakan shalat yang kedua ('Ashar atau Isya') masih dalam perjalanan. Bila
dikerjakan ketika sudah sampai rumah, maka tidak boleh dijama' ta'khir. Menurut
qaul shahih dalam jama' ta'khir tidak perlu disyaratkan tertib, muwalah
(terus menerus) dan dengan niat jama'.
SHALAT DHUHUR JAMAK TAKDIM DENGAN
SHALAT ASHAR
Keterangan: Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Dhuhur.
Setelah Shalat Dhuhur kemudian dilanjutkan dengan Shalat Ashar.
Niat Shalat Dhuhur Jamak Takdim dengan Shalat Ashar
اصلى فرض الظهراربع ركعا ت مجموعا بالعصر ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH DHUHRI ARBA’A
RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIL ‘ASHRI MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Dhuhur
empat rakaat dijama’ dengan Shalat Ashar makmum/iman karena Allah Ta’alla”
Niat
Shalat Ashar Jamak Takdim dengan Shalat Dhuhur
اصلى فرض العصراربع ركعا
ت مجموعا بالظهر ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH DHUHRI ARBA’A
RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIL ‘ASHRI MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Dhuhur
empat rakaat dijama’ dengan Shalat Ashar makmum/iman karena Allah Ta’alla”
SHALAT DHUHUR JAMAK TAKHIR DENGAN
SHALAT ASHAR
Keterangan: Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Ashar.
Setelah Shalat Dhuhur kemudian dilanjutkan dengan Shalat Ashar.
Niat
Shalat Dhuhur Jamak Ta’khir dengan Shalat Ashar
اصلى فرض الظهراربع ركعا
ت مجموعا بالعصر ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH ‘ASHRI ARBA’A
RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIDHDHUHRI MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Ashar
empat rakaat dijama’ dengan Shalat Dhuhur makmum/iman karena Allah Ta’alla”
Niat
Shalat Ashar Jamak Ta’khir dengan Shalat Dhuhur
اصلى فرض العصراربع ركعا
ت مجموعا بالظهر ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH ‘ASHRI ARBA’A
RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIDHDHUHRI MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Ashar
empat rakaat dijama’ dengan Shalat Dhuhur makmum/iman karena Allah Ta’alla”
SHALAT DHUHUR QASHAR DAN SHALAT ASHAR
QASHAR
Keterangan: Shalat dilaksanakan di waktu masing-masing.
Jumlah Rakaat Shalat Dhuhur dan Shalat Ashar menjadi dua rakaat.
Niat Shalat Dhuhur Qoshor
اصلى فرض الظهرركعتين
قصرا لله تعالى
USHALLII FARDLADH DHUHRI RAK’ATAINI
QASRHRAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Dhuhur
dua rakaat dengan Qashar karena Allah Ta’alla”
Niat
Shalat Ashar dengan Qoshor
اصلى فرض العصرركعتين
قصرا لله تعالى
USHALLII FARDLADH ‘ASHRI RAK’ATAINI
QASRHRAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat ‘Ashar
dua rakaat dengan Qashar karena Allah Ta’alla”
SHALAT DHUHUR JAMAK TAKDIM BESERTA
QASHAR DENGAN SHALAT ASHAR
Keterangan: Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Dhuhur.
Setelah Shalat Dhuhur kemudian dilanjutkan dengan Shalat Ashar. Jumlah Rakaat
Shalat Dhuhur dan Shalat Ashar menjadi dua rakaat.
Niat
Shalat Dhuhur Jama’ Takdim beserta Qoshor dengan Shalat Ashar
اصلى فرض الظهرركعتين
قصرا مجموعا بالعصر ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH DHUHRI RAK’ATAINI
QASRHRAN MAJMUU’AN BIL ‘ASHRI LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Dhuhur
dua rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat ‘Ashar karena Allah Ta’alla”
Niat Shalat
Ashar Jama’ Takdim beserta Qoshor dengan Shalat Dhuhur
اصلى فرض العصرركعتين
قصرا مجموعا بالظهر ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH ‘ASHRI RAK’ATAINI
QASRHRAN MAJMUU’AN BIL DHUHRI LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat ‘Ashar dua rakaat
Qashar dan Jamak dengan Shalat Dhuhur karena Allah Ta’alla”
SHALAT DHUHUR JAMAK TAKHIR BESERTA
QASHAR DENGAN SHALAT ASHAR
Keterangan: Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Ashar.
Setelah Shalat Dhuhur kemudian dilanjutkan dengan Shalat Ashar. Jumlah Rakaat
Shalat Dhuhur dan Shalat Ashar menjadi dua rakaat.
Niat
Shalat Dhuhur Jama’ Ta’khir beserta Qoshor dengan Shalat Ashar
اصلى فرض الظهرركعتين
قصرا مجموعا بالعصر ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH DHUHRI RAK’ATAINI
QASRHRAN MAJMUU’AN BIL ‘ASHRI LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Dhuhur
dua rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat ‘Ashar karena Allah Ta’alla”
Niat Shalat
Ashar Jama’ Ta’khir beserta Qoshor dengan Shalat Dhuhur
اصلى فرض العصرركعتين
قصرا مجموعا بالظهر ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH ‘ASHRI RAK’ATAINI
QASRHRAN MAJMUU’AN BIL DHUHRI LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat ‘Ashar dua rakaat
Qashar dan Jamak dengan Shalat Dhuhur karena Allah Ta’alla”
SHALAT MAGHRIB JAMAK TAKDIM DENGAN
SHALAT ISYA’
Keterangan: Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Maghrib.
Setelah Shalat Maghrib kemudian dilanjutkan dengan Shalat Isya’.
Niat
Shalat Maghrib Jama’ Takdim dengan Shalat Isya’
اصلى فرض المغرب ثلاث
ركعا ت مجموعا بالعشاء ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLAL MAGHRIBI TSALAASA
RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIL ISYAA’I MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Maghrib tiga rakaat
dijama’ dengan Shalat Isya’ makmum/iman karena Allah Ta’alla”
Niat
Shalat Isya’ Jama’ Takdim dengan Shalat Maghrib
اصلى فرض العشاء اربع
ركعا ت مجموعا بالمغرب ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLAL MAGHRIBI TSALAASA
RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIL ISYAA’I MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Maghrib tiga rakaat
dijama’ dengan Shalat Isya’ makmum/iman karena Allah Ta’alla”
SHALAT MAGHRIB JAMAK TA’KHIR DENGAN
SHALAT ISYA’
Keterangan: Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Isya’.
Setelah Shalat Maghrib kemudian dilanjutkan dengan Shalat Isya’.
Niat
Shalat Maghrib Jama’ Ta’khir dengan Shalat Isya’
اصلى فرض المغرب ثلاث
ركعا ت مجموعا بالعشاء ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLAL MAGHRIBI TSALAASA
RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIL ISYAA’I MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Maghrib tiga rakaat
dijama’ dengan Shalat Isya’ makmum/iman karena Allah Ta’alla”
Niat
Shalat Isya’ Jama’ Ta’khir dengan Shalat Maghrib
اصلى فرض العشاء اربع
ركعا ت مجموعا بالمغرب ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH ISYAA’I ARBA’A
RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIL MAGHRIBI MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Isya’ empat rakaat
dijama’ dengan Shalat Maghrib makmum/iman karena Allah Ta’alla”
SHALAT ISYA’ QASHAR
Keterangan:
Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Isya’. Jumlah Rakaat Shalat Isya’ menjadi
dua rakaat.
Niat
Shalat Isya’ dengan Qoshor
اصلى فرض العشاء ركعتين
قصرا لله تعالى
USHALLII FARDLADH ISYA’I RAK’ATAINI
QASRHRAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Isya’
dua rakaat dengan Qashar karena Allah Ta’alla”
SHALAT MAGHRIB JAMAK TAKDIM BESERTA
QASHAR DENGAN SHALAT ISYA’
Keterangan: Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Maghrib.
Setelah Shalat Maghrib kemudian dilanjutkan dengan Shalat Isya’. Jumlah Rakaat
Shalat Isya’ menjadi dua rakaat.
Niat
Shalat Maghrib Jama’ Takdim beserta Qoshor dengan Shalat Isya’
اصلى فرض المغرب ثلاث
ركعا ت قصرا مجموعا بالعشاء ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLAL MAGHRIBI TSALAASA
RAKA’ATIN QASRHRAN MAJMUU’AN BIL ISYA’I LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat
Maghrib tiga rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat Isya’ karena Allah Ta’alla”
Niat
Shalat Isya’ Jama’ Takdim beserta Qoshor dengan Shalat Maghrib
اصلى فرض العشاء ركعتين
قصرا مجموعا بالمغرب ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLAL ISYA’I ARBA’A
RAKA’ATIN QASRHRAN MAJMUU’AN BIL MAGHRIBI LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Isya’
dua rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat Maghrib karena Allah Ta’alla”
SHALAT MAGHRIB JAMAK TA’KHIR BESERTA
QASHAR DENGAN SHALAT ISYA’
Keterangan: Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Isya’.
Setelah Shalat Maghrib kemudian dilanjutkan dengan Shalat Isya’. Jumlah Rakaat
Shalat Isya’ menjadi dua rakaat.
Niat
Shalat Maghrib Jama’ Ta’khir beserta Qoshor dengan Shalat Isya’
اصلى فرض المغرب ثلاث
ركعا ت قصرا مجموعا بالعشاء ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH MAGHRIBI TSALAASA
RAKA’ATIN QASRHRAN MAJMUU’AN BIL ISYA’I LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat
Maghrib tiga rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat Isya’ karena Allah Ta’alla”
Niat
Shalat Isya’ Jama’ Ta’khir beserta Qoshor dengan Shalat Maghrib
اصلى فرض العشاء ركعتين
قصرا مجموعا با المغرب ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH ISYA’I RAK’ATAINI
QASRHRAN MAJMUU’AN BIL MAGHRIBI LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Isya’ dua rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat
Maghrib karena Allah Ta’alla”
Diposkan oleh Farida Amperawati
Label: Taskiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar